Add caption |
Info: http://www.imdb.com/title/tt0195714/
Release Date: 17 March 2000
Genre: Horror | Thriller
Cast: Devon Sawa, Ali Larter and Kerr Smith
Quality: BDRip 720p
Source: BluRay.1080p.DTS.x264.dxva-FraMeSToR
Subtitle:
Sinopsis:
Release Date: 17 March 2000
Genre: Horror | Thriller
Cast: Devon Sawa, Ali Larter and Kerr Smith
Quality: BDRip 720p
Source: BluRay.1080p.DTS.x264.dxva-FraMeSToR
Subtitle:
Sinopsis:
Kenneth (who likes to call himself Kay) begins to realize he's just another wannabe bad boy.. even less than a loser in fact. After quitting his job at Laimsbury's, Kay vows to become a respected gangster... or cry trying. A pulls-no-punches, coming-of-age story, centering on one directionless hopeless "shotter", who finds his true worth in the face of urban adversity.
Download Single Part 350 MB :
Klik Gambar ini :
Add caption |
Release Date: 17 March 2000
Genre: Horror | Thriller
Cast: Devon Sawa, Ali Larter and Kerr Smith
Quality: BDRip 720p
Source: BluRay.1080p.DTS.x264.dxva-FraMeSToR
Subtitle:
Sinopsis:
Alex is boarding his plane to France on a school trip, when he suddenly gets a premonition that the plane will explode. When Alex and a group of students are thrown off the plane, to their horror, the plane does in fact explode. Alex must now work out Death's plan, as each of the surviving students falls victim. Whilst preventing the worst from happening, Alex must also dodge the FBI, which believes Alex caused the explosion.
Download Klik Gambar ini :
Download Klik Gambar ini :
Konsep diri merupakan faktor penting didalam berinteraksi. Hal ini disebabkan oleh setiap individu dalam bertingkah laku sedapat mungkin disesuaikan dengan konsep diri. Kemampuan manusia bila dibandingkan dengan mahluk lain adalah lebih mampu menyadari siapa dirinya, mengobservasi diri dalam setiap tindakan serta mampu mengevaluasi setiap tindakan sehingga mengerti dan memahami tingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan. Dengan demikian manusia memiliki kecenderungan untuk menetapkan nilai-nilai pada saat mempersepsi sesuatu. Setiap individu dapat saja menyadari keadaannya atau identitas yang dimilikinya akan tetapi yang lebih penting adalah menyadari seberapa baik atau buruk keadaan yang dimiliki serta bagaimana harus bersikap terhadap keadaan tersebut. Tingkah laku individu sangat bergantung pada kualitas konsep dirinya yaitu konsep diri positif atau konsep diri negatif.
Add caption |
Menurut Brooks dan Emmart (1976), orang yang memiliki konsep diri positif menunjukkan karakteristik sebagai berikut: (a) Merasa mampu mengatasi masalah. Pemahaman diri terhadap kemampuan subyektif untuk mengatasi persoalan-persoalan obyektif yang dihadapi. (b) Merasa setara dengan orang lain. Pemahaman bahwa manusia dilahirkan tidak dengan membawa pengetahuan dan kekayaan. Pengetahuan dan kekayaan didapatkan dari proses belajar dan bekerja sepanjang hidup. Pemahaman tersebut menyebabkan individu tidak merasa lebih atau kurang terhadap orang lain. (c) Menerima pujian tanpa rasa malu. Pemahaman terhadap pujian, atau penghargaan layak diberikan terhadap individu berdasarkan dari hasil apa yang telah dikerjakan sebelumnya. (d) Merasa mampu memperbaiki diri. Kemampuan untuk melakukan proses refleksi diri untuk memperbaiki perilaku yang dianggap kurang.
Sedangkan orang yang memiliki konsep diri yang negatif menunjukkan karakteristik sebagai berikut: (a) Peka terhadap kritik. Kurangnya kemampuan untuk menerima kritik dari orang lain sebagai proses refleksi diri. (b) Bersikap responsif terhadap pujian. Bersikap yang berlebihan terhadap tindakan yang telah dilakukan, sehingga merasa segala tindakannya perlu mendapat penghargaan. (c) Cenderung merasa tidak disukai orang lain. Perasaan subyektif bahwa setiap orang lain disekitarnya memandang dirinya dengan negatif. (d) Mempunyai sikap hiperkritik. Suka melakukan kritik negatif secara berlebihan terhadap orang lain. (e) Mengalami hambatan dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Merasa kurang mampu dalam berinteraksi dengan orang-orang lain.
Sumber ; Brooks, W.D., Emmert, P. Interpersonal Community. Iowa. Brow Company Publisher. 1976
Add caption |
Namun pada kenyataannya, seringkali terjadi bahwa pacaran yang dilakukan remaja dapat menjurus kepada hal-hal yang negatif, misalnya pacaran diiringi dengan perilaku seksual pranikah, kekerasan dalam berpacaran, bahkan tidak jarang terjadi kasus-kasus pembunuhan, perkosaan hingga maraknya kasus-kasus hubungan seksual yang direkam melalui handphone. Salah satu fenomena yang saat ini semakin banyak muncul pada hubungan berpacaran adalah kekerasan dalam pacaran (KDP).
Data kasus kekerasan yang ditangani oleh Jaringan Relawan Independen (JaRI) periode April 2002-Juni 2007, yakni, dari 263 kasus kekerasan yang masuk, ada 92% korban perempuan (sekitar 242 orang). Dimana sepertiganya merupakan kekerasan dalam pacaran (KDP). Sementara itu, kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) dan perkosaan pun menjadi kasus dominan yang ditangani Rifka Annisa Women`s Crisis Center asal Yogyakarta, setelah kekerasan terhadap istri. Selama 14 tahun terakhir, dari 3.627 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terungkap, sekitar 26 % di antaranya adalah kekerasan dalam pacaran (KDP) dan perkosaan. Rifka Annisa (2002) mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan yang terjadi antara bulan Januari-Juli 2002 tercatat sebanyak 248 kasus. Dimana 60 kasus merupakan kekerasan pada masa pacaran (KDP) dan perkosaan 30 kasus.
Data kasus kekerasan yang ditangani oleh Jaringan Relawan Independen (JaRI) periode April 2002-Juni 2007, yakni, dari 263 kasus kekerasan yang masuk, ada 92% korban perempuan (sekitar 242 orang). Dimana sepertiganya merupakan kekerasan dalam pacaran (KDP). Sementara itu, kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) dan perkosaan pun menjadi kasus dominan yang ditangani Rifka Annisa Women`s Crisis Center asal Yogyakarta, setelah kekerasan terhadap istri. Selama 14 tahun terakhir, dari 3.627 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terungkap, sekitar 26 % di antaranya adalah kekerasan dalam pacaran (KDP) dan perkosaan. Rifka Annisa (2002) mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan yang terjadi antara bulan Januari-Juli 2002 tercatat sebanyak 248 kasus. Dimana 60 kasus merupakan kekerasan pada masa pacaran (KDP) dan perkosaan 30 kasus.
Fenomena kekerasan dalam pacaran (KDP) sebenarnya seperti gunung es. Sebab, angka-angka tersebut hanya berdasar pada jumlah kasus yang dilaporkan, padahal dalam kenyataannya, tidaklah mudah bagi korban kekerasan melaporkan kasus yang dialaminya.
Kekerasan dalam Pacaran (KDP)
Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga (Domestic Violence), namun masih sedikit yang peduli pada kekerasan yang terjadi berpacaran (Kekerasan Dalam Pacaran/KDP) atau Dating Violence). Banyak yang beranggapan bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang indah, di mana setiap hari diwarnai oleh manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan sang pacar.
Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga (Domestic Violence), namun masih sedikit yang peduli pada kekerasan yang terjadi berpacaran (Kekerasan Dalam Pacaran/KDP) atau Dating Violence). Banyak yang beranggapan bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang indah, di mana setiap hari diwarnai oleh manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan sang pacar.
Kekerasan dalam Pacaran (KDP) adalah perilaku atau tindakan seseorang dapat disebut sebagai tindak kekerasan dalam percintaan atau pacaran apabila salah satu pihak merasa terpaksa, tersinggung dan disakiti dengan apa yang telah dilakukan oleh pasangannya pada hubungan pacaran. Suatu tindakan dikatakan kekerasan apabila tindakan tersebut sampai melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis, bila yang melukai adalah pacar maka ini bisa digolongkan tindak kekerasan dalam pacaran (KDP).
Sebenarnya kekerasan ini tidak hanya dialami oleh perempuan atau remaja putri saja, remaja putra pun ada yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya. Tetapi perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat luas. Ketidakadilan dalam hal jender selama ini telah terpatri dalam kehidupan sehari-hari, bahwa seorang perempuan biasa dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut, pasif, mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain sebagainya, sehingga dirasa “pantas” menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena.
Payung hukum terhadap terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan, sebetulnya sudah cukup terakomodasi melalui UU No. 23 tahun 2004 tentang KDRT. Namun untuk kekerasan dalam pacaran (KDP), belum ada payung hukum khusus, dan masih menggunakan KUHP sebab dianggap kasus kriminal biasa. Kekerasan dalam pacaran (KDP) bisa masuk dalam KDRT, karena kekerasan yang terjadi dalam relasi domestik, antara laki-laki dan perempuan yang memiliki hubungan khusus.
Hal yang khas yang sering muncul dalam kasus kasus kekerasan dalam pacaran adalah bahwa korban biasanya memang cenderung lemah, kurang percaya diri, dan sangat mencintai pasangannya. Apalagi karena sang pacar, setelah melakukan kekerasan (menampar, memukul, nonjok, dll) biasanya setelah itu menunjukkan sikap menyesal, minta maaf, dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan kekerasan lagi, dan bersikap manis kepada pasangannya. Pada dasarnya, hubungan pacaran adalah sarana melatih keahlian individu dalam kepekaan, empati, kemampuan untuk mengkomunikasikan emosi dan menyelesaikan konflik serta kemampuan untuk mempertahankan komitmen.
Jika individu mampu mengkomunikasikan emosi dan menyelesaikan konflik dengan baik niscaya kekerasan dalam pacaran (KDP) tidak akan terjadi. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis menduga bahwa salah satu penyebab terjadi kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah rendahnya tingkat asertivitas individu. Rendahnya asertivitas tersebut tampak ketika individu cenderung menerima segala bentuk perlakuan oleh pasangannya, meskipun sebetulnya individu merasa tersiksa. Asertif berfungsi sebagai mengkomunikasikan emosi dan menyelesaikan konflik dalam berpacaran.
Sumber : http://duniapsikologi.dagdigdug.com
Add caption |
Hambatan Sukses adalah suatu keadaan dimana mental seseorang menjadi terkunci / terhambat yang disebabkan ketidak-mampuan seseorang mengatasi peristiwa buruk yang kontinyu / ekstrem dimasa lalu sehingga pertumbuhan normal mentalnya terhenti (fixation).
Penyebabnya dapat disebabkan oleh pola asuh yang keliru, sugesti negatif yang dipupuk terus menerus ataupun pengalaman buruk yang terjadi dimasa lalu.
Beberapa ahli menyatakan bahwa semua hambatan sukses muncul dan berkembang pertama kali di bawah sadar. Upaya peredaan ketegangan terhadap peristiwa buruk biasanya dilakukan manusia secara tanpa sadar melalui mekanisme pertahanan diri dengan cara penekanan (repression) gangguan tersebut ke bawah sadar.
Upaya tersebut dapat berupa Identifikasi (misal : imitasi, introyeksi), Reaksi Kompromi (misal : sublimasi, substitusi, kompensasi), Represi dan kombinasinya (misal : represi+displacement, represi+simptom histerik, represi+psychophysiological disorder, represi+fobia, represi+namadisme), Fiksasi dan Regresi (misal : pembentukan reaksi, pembalikan, projeksi), Reaksi Agresi (misal : agresi primitif, scapegoating, free-floating-anger, suicide, turning around upon the self), Intelektualisasi (misal : rasionalisasi, isolasi, upaya menebus dosa, penyangkalan, penolakan, pengingkaran, penahanan diri).
Detil ruang lingkup hambatan sukses dapat dilihat pada Daftar Fobia, Daftar Mania, Daftar Ketagihan, Daftar Emosi Negatif, Daftar Pengalaman Traumatik, Daftar Kebiasaan Buruk.
Sumber : http://servoclinic.com/faqs/
Add caption |
Siklus Tumbuh adalah Siklus emosional yang membuat seseorang semakin lama semakin positif, semakin terkendali, semakin berani, semakin percaya diri, semakin optimis, semakin sehat, semakin semangat, semakin berprestasi, semakin bahagia, semakin sejahtera.
Sebaliknya, Siklus Uzur adalah siklus emosional yang membuat seseorang semakin lama semakin negatif, semakin terpuruk, semakin tidak terkendali dsb. Siklus ini pulalah yang menyebabkan upaya berubah selalu gagal dan semakin buruk.
Saat di siklus uzur inilah seseorang hanya memiliki dua buah pilihan yang sama buruknya yaitu :
- pertama, apabila ybs. terpaksa berinteraksi dengan sumber stress seperti masalah keluarga, masalah teman, masalah pekerjaan, masalah ekonomi, masalah kesehatan dsb. maka ybs. mudah mengalami stress, cemas, fobia, takut, gugup, panik dsb., namun
- kedua, apabila ybs. dapat menghindar, lari dari masalah, mencari tempat sembunyi yang paling nyaman (comfort zone) maka ybs. berpotensi terjebak dalam bentuk bentuk kecanduan, kebiasaan buruk, perilaku menyimpang, rasa malas/menunda pekerjaan, obsesif kompulsif, rasa sedih / depresi, putus asa dan terkadang disertai keinginan bunuh diri.
Itu sebabnya pemrograman diri ataupun terapi yang hanya berfokus pada “akibat” (simptom), tidak ke akar masalahnya (causa) biasanya bersifat sementara dan kalaupun berhasil, hanya berubah bentuk ke kebiasaan buruk lainnya.
Penggunaan obat obatan anti anxietas (untuk menekan rasa cemas) ataupun anti depresan/stimulansia (untuk menimbulkan kembali semangat) tetapi tanpa disertai penanganan terhadap akar masalah akan bersifat sementara dan justru berpotensi menimbulkan masalah baru berupa ketergantungan obat.
Sumber : http://servoclinic.com/faqs/
Add caption |
Kualitas sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh kualitas input yang juga merupakan kualitas output dari proses sebelumnya dan berbentuk siklus.
Kualitas “pengalaman” yang terjadi akibat tindakan yang diambil sebelumnya akan menentukan kualitas “kesimpulan” yang akan disimpan di otak (baca : persepsi).
Kualitas “kesimpulan” yang diyakini akan menjadi rujukan ”sikap” dalam merespon stimulus berikutnya dan kualitas “sikap” yang dipilih akan menentukan kualitas “tindakan” berikutnya.
Selanjutnya kualitas “tindakan” akan menentukan kualitas “pengalaman” berikutnya dan kualitas pengalaman berikutnya akan “meneguhkan” kesimpulan sebelumnya.
Contoh : Jika Anda memiliki pengalaman yang buruk dalam tugas menjual sebelumnya akan membuat Anda mengira diri Anda tidak berbakat dalam bidang penjualan.
Dugaan tersebut akan membuat sikap Anda menjadi ragu ragu / negatif saat mendapatkan tugas menjual selanjutnya. Akibatnya kualitas tindakan menjual Anda berikutnya akan menyesuaikan dengan keragu raguan Anda sehingga potensi kegagalan berikutnya menjadi lebih besar.
Pengalaman buruk ini apabila terjadi berulang kali dan dalam waktu yang lama akan semakin meneguhkan kesimpulan sebelumnya (fiksasi) yaitu Anda memang tidak berbakat menjual.
Semakin ekstrim tingkat kegagalannya akan semakin mempercepat dan semakin memperkuat proses peneguhan negatifnya (fiksasinya). Demikian pula sebaliknya dengan proses terbentuknya prestasi mengikuti mekanisme kerja yang sama hanya dengan input yang berbeda.
Add captio |
Pada awalnya, setiap orang terlahir suci dan tidak mengenal bohong.
Seiring dengan berjalannya waktu, seorang anak tanpa disengaja mulai belajar berbohong dari lingkungan misal, dari kakak yang berbohong yang menyebabkan dirinya dihukum, dari orang tua yang tidak menepati janji, meniru orang tua berbohong dsb.
Penyebab berbohong antara lain dapat disebabkan oleh keinginan anak untuk tidak mengecewakan orang tuanya, keinginan untuk menarik perhatian, keinginan untuk melindungi teman, takut dihukum atau trauma dengan kejujuran yang justru dihukum dsb.
Disinilah, keterampilan orang tua untuk mengajarkan kejujuran menjadi penting karena dapat tanpa disadari, orang tua justru menghukum anak yang bersikap jujur.
Misal : Ketika orang tua meminta si anak untuk bersikap jujur, apakah dirinya mengambil uang dari dompet orang tua. Pada saat si anak mengaku dirinya yang mengambil uang, si orang tua malah marah hebat. Padahal mengaku mengambil uang ( jujur) dan mengambil uang (mencuri) itu sendiri adalah dua hal yang berbeda.
Ketidak jelian orang tua untuk membedakan kedua hal tersebut dan reaksi orang tua yang kontraproduktif, dapat membuat si anak belajar bahwa bersikap jujur justru merugikan dirinya (mengakibatkan dirinya dihukum).
Yang seharusnya dilakukan orang tua adalah tetap menunjukkan bahwa mencuri itu adalah perbuatan tercela dan membuat orang tua kecewa (menghukum), tapi karena dia mau bersikap jujur maka untuk kali ini perbuatan tersebut dapat dimaafkan (menghargai kejujurannya).
Sama halnya pada waktu si adik yang dihukum saat si kakak yang pintar ngomong berhasil melempar kesalahannya ke adik. Jika Anda tidak yakin siapa yang bersalah, jauh lebih aman Anda mengatakan “Siapapun yang berbohong, apakah itu kakak atau adik, dia yang bersalah.”
Keberhasilan si anak melakukan kebohongan untuk terbebas dari hukuman, ataupun mendapatkan keuntungan dari berbohong, dikemudian hari dapat membuat dirinya selalu menghindar dari tanggung jawab dan jika hal tersebut terjadi berulang ulang dapat menimbulkan kecanduan berbohong.
Bagaimana jika kebiasaan berbohong justru dilakukan oleh orang tua, pasangan atau pejabat, apakah dapat dihilangkan?
Jawabannya sulit, karena sama seperti bentuk bentuk kecanduan lainnya, seseorang yang suka berbohong telah menjadikan “berbohong” sebagai tempat bersembunyi yang nyaman.
Terapi baru dapat dilakukan jika keinginan berubah benar benar datang dari dalam diri yang bersangkutan.
Sumber:
Add caption |
Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan seseorang menderita mania termasuk penyalahgunaan obat dan tumor otak, tapi paling banyak dikarenakan kelainan bipolar, dimana hidup awal mania digantikan oleh bagiannya yang depresi berat. Mania terbagi berdasarkan kekuatan pengaruhnya, mulai dari mania sedang (dikenal juga sebagai hypomania) hingga mania penuh dengan ciri-ciri kegilaan.
1. Cartacoethes: tekanan yang tidak bisa dikendalikan untuk melihat peta dimana-mana
Otak manusia punya kemampuan (yang cukup cepat tentunya) untuk mengenal wajah di mana saja, tapi kemampuan ini bisa berubah pada sebuah mania aneh yang biasa disebut cartocacoethes: tekanan yang tidak bisa dikendalikan untuk melihat peta dimana-mana, bahkan pada makanan seperti makanan milanesa (sejenis daging) dari Argentina di gambar di atas.
Otak manusia punya kemampuan (yang cukup cepat tentunya) untuk mengenal wajah di mana saja, tapi kemampuan ini bisa berubah pada sebuah mania aneh yang biasa disebut cartocacoethes: tekanan yang tidak bisa dikendalikan untuk melihat peta dimana-mana, bahkan pada makanan seperti makanan milanesa (sejenis daging) dari Argentina di gambar di atas.
2. Gamomania: obsesi mengajukan pernikahan
Gamomania bisa dideskripsikan sebagai obsesi aneh yang mengajak orang untuk menikah atau mengajukan pernikahan ke orang-orang berbeda pada waktu yang sama, yang dalam banyak kasus mengakibatkan poligami.
3. Onomatomania: rangsangan untuk mengulang beberapa kata
Ini adalah obsesi mengulang kata-kata khusus karena kata-kata itu mengganggu pikiran penderita.
4. Climomania: keinginan berlebihan berada di kasur
Nggak ada masalah sebenernya mau tidur-tiduran lama, apalagi kalau sakit. Buat Clinomaniac (penderita climomania), keinginan untuk berada di kasur terlalu berlebihan dan bisa sampai seharian, terutama kalau cuaca dingin. Climomania berasal dari bahasa Yunani yang artinya obsesi tidur. Dengan kata lain, mania ini artinya cinta pada kasur, bantal dan selimut.
5. Demonomania: percaya digentayangi roh jahat
Ada banyak film dan buku horor yang sangat menyeramkan (iyalah). Melihat film seperti itu secara alami bisa membuat si penonton takut dengan beberapa orang. Dan biasanya di saat orang takut, mania mulai merasuk. Jika berurusan dengan setan (demon), bisa jadi orang itu menderita demonomania, kondisi psikis yang percaya dirinya diikuti setan. Dan saat seseorang berpikir dirinya digentayangi, dia mulai benar-benar percaya ada setan di dekatnya.
6. Enosimania: terus-terusan merasa bersalah
Enosimania adalah tekanan untuk berpikir diri seseorang telah melakukan kesalahan atau dikritik yang tidak bisa dimaafkan, dikenal juga dengan beberapa nama lain seperti Enissophobia, Enosiophobia, ‘takut melakukan kesalahan besar’ dan ‘takut kritikan’. Gejalanya biasanya napas pendek dan cepat, detakan jantung tak menentu, berkeringat, muak, dan tentunya ketakutan yang besar.
7. Trichotillomania: rangsangan menarik rambut sendiri
Trichotillomania, atau lebih dikenal dengan sebutan ‘trich’, adalah kelainan gerakan reflek dalam bentuk penyiksaan diri yang ditunjukkan dengan berulang kali menarik rambut, bulu mata, bulu hidung, jembut (buset), alis atau rambut lain, kadang-kadang menyebabkan kebotakan.
8. Ablutomania: mania mencuci tubuh
Mencuci tangan setelah dari toilet bukan masalah, tapi mencuci tangan setelah beberapa detik bisa jadi masalah. Penderita abutomania biasanya sangat ketakutan dengan kotor. Padahal berani kotor itu baik, kan?
9. Aboulomania: sering ragu-ragu
Kita tentu pernah mengalami situasi dimana kita sulit membuat pilihan, tapi bayangkan jika kita tidak bisa membuat keputusan yang bahkan sangat sederhana, hidup seperti tak tertahankan. Aboulomania bisa didefinisikan sebagai penyakit keraguan atau ketidakmampuan seseorang untuk memutuskan masalah apapun.
10. Doromania: obsesi memberi hadiah
Banyak orang yang suka memberi hadiah. Dan sebagian besar orang akan senang dengan obesesi seperti itu. Doromania adalah dorongan atau kesenangan tidak normal untuk memberi hadiah. Penderitanya terobsesi memilih dan memberi hadiah, tapi bukan untuk tujuan baik atau karena mereka sangat dermawan. Melainkan karena hal lain yang lebih kompleks.(wikipedia)
Add caption |
Lebih lanjut Masykouri menejelaskan, penyebab perilaku agresif diindikasikan oleh empat faktor utama yaitu gangguan biologis dan penyakit, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan pengaruh budaya negatif. Faktor-faktor penyebab ini sifatnya kompleks dan tidak mungkin hanya satu faktor saja yang menjadi penyebab timbulnya perilaku agresif
Keempat faktor penyebab anak berperilaku agresif adalah sebagai berikut:
A. Faktor Biologis
Emosi dan perilaku dapat dipengaruhi oleh faktor genetic, neurologist atau faktor biokimia, juga kombinasi dari faktor ketiganya. yang jelas, ada hubungan antara tubuh dan perilaku, sehingga sangat beralasan untuk mencari penyebab biologis dari gangguan perilaku atau emosional. misalnya, ketergantungan ibu pada alcohol ketika janin masih dalam kandungan dapat menyebabkan anak berkebutuhan khusus dan berbagai gangguan termasuk emosi dan perilaku.
Ayah yang peminum alkohol menurut penelitaian juga beresiko tinggi menimbulkan perilaku agresif pada anak. Perilaku agresif dapat juga muncul pada anak yang orang tuanya penderita psikopat (gangguan kejiwaan).
Semua anak sebenarnya lahir dengan keadaan biologis tertentu yang menentukan gaya tingkah laku atau temperamennya, meskipun temperamen dapat berubah sesuai pengasuhan. Selain itu, penyakit kurang gizi, bahkan cedera otak, dapat menjadi penyebab timbulnya gangguan emosi atau tingkah laku.
B. Faktor Keluarga
Faktor keluarga yang dapat menyebabkan anak berkebutuhan khusus dan berperilaku agresif, dapat diidentifikasikan seperti berikut.
- Pola asuh orang tua yang menerapkan disiplin dengan tidak konsisiten. Misalnya orang tua sering mengancam anak jika anak berani melakukan hal yang menyimpang. Tetapi ketika perilaku tersebut benar-benar dilakukan anak, hukuman tersebut kadang diberikan kadang tidak, membuat anak bingung karena tidak ada standar yang jelas. hal ini memicu perilaku agresif pada anak. Ketidakkonsistenan penerapan disiplin jika juga terjadi bila ada pertentangan pola asuh antara kedua orang tua, misalnya si Ibu kurang disiplin dan mudah melupakan perilaku anak yang menyimpang, sedang si ayah ingin memberikan hukuman yang keras.
- Sikap permisif orang tua, yang biasanya berawal dari sikap orang tua yang merasa tidak dapat efektif untuk menghentikan perilaku menyimpang anaknya, sehingga cenderung membiarkan saja atau tidak mau tahu. Sikap permisif ini membuat perilaku agresif cenderung menetap.
- Sikap yang keras dan penuh tuntutan, yaitu orang tua yang terbiasa menggunakan gaya instruksi agar anak melakukan atau tidak melakukan sesuatu, jarang memberikan kesempatan pada anak untuk berdiskusi atau berbicara akrab dalam suasana kekeluargaan. Dalam hal ini muncul hukum aksi-reaksi, semakin anak dituntut orang tua, semakin tinggi keinginan anak untuk memberontak dengan perilaku agresif.
- Gagal memberikan hukuman yang tepat, sehingga hukuman justru menimbulkan sikap permusuhan anak pada orang tua dan meningkatkan sikap perilaku agresif anak.
- Memberi hadiah pada perilaku agresif atau memberikan hukuman untuk perilaku prososial.
- Kurang memonitor dimana anak-anak berada
- Kurang memberikan aturan
- Tingkat komunikasi verbal yang rendah
- Gagal menjadi model yang baik
- Ibu yang depresif yang mudah marah
C. Faktor Sekolah
Beberapa anak dapat mengalami masalah emosi atau perilaku sebelum mereka mulai masuk sekolah, sedangkan beberapa anak yang lainnya tampak mulai menunjukkan perilaku agresif ketika mulai bersekolah. Faktor sekolah yang berpengaruh antara lain: 1) teman sebaya, lingkungan sosial sekolah, 2) para guru, dan 3) disiplin sekolah.
- Pengalaman bersekolah dan lingkungannya memiliki peranan penting dalam pembentukan perilaku agresif anak demikian juga temperamen teman sebaya dan kompetensi sosial
- Guru-guru di sekolah sangat berperan dalam munculnya masalah emosi dan perilaku itu. Perilaku agresifitas guru dapat dijadikan model oleh anak.
- Disiplin sekolah yang sangat kaku atau sangat longgar di lingkungan sekolah akan sangat membingungkan anak yang masih membutuhkan panduan untuk berperilaku. Lingkungan sekolah dianggap oleh anak sebagai lingkungan yang memperhatikan dirinya. Bentuk perhatian itu dapat berupa hukuman, kritikan ataupun sanjungan.
D. Faktor Budaya
Pengaruh budaya yang negatif mempengaruhi pikiran melalui penayangan kekerasan yang ditampilkan di media, terutama televisi dan film. Menurut Bandura (dalam Masykouri, 2005: 12.10) mengungkapkan beberapa akibat penayangan kekerasan di media, sebagai berikut.
- Mengajari anak dengan tipe perilaku agresif dan ide umum bahwa segala masalah dapat diatasi dengan perilaku agresif.
- Anak menyaksikan bahwa kekerasan bisa mematahkan rintangan terhadap kekerasan dan perilaku agresif, sehingga perilaku agresif tampak lumrah dan bisa diterima.
- Menjadi tidak sensitif dan terbiasa dengan kekerasan dan penderitaan (menumpulkan empati dan kepekaan sosial).
- Membentuk citra manusia tentang kenyataan dan cenderung menganggap dunia sebagai tempat yang tidak aman untuk hidup.
Akibat sering nonton salah satu kartun, dan film robot di beberapa stasiun TV, anak cenderung meniru tokoh tersebut dan selain itu juga meniru perilaku saudara sepupu teman sepermainannya. Terkadang orang tua melarang putra – putrinya untuk menonton film – film kartun dan film robot tersebut tentunya dengan memberikan penjelasan, tetapi belum membuahkan hasil yang maksimal.
Selain itu, faktor teman sebaya juga merupakan sumber yang paling mempengaruhi anak. Ini merupakan faktor yang paling mungkin terjadi ketika perilaku agresif dilakukan secara berkelompok. Ada teman yang mempengaruhi mereka agar melakukan tindakan-tindakan agresif terhadap anak lain. Biasanya ada ketua kelompok yang dianggap sebagai anak yang jagoan, sehingga perkataan dan kemauanya selalu diikuti oleh temannya yang lain. Faktor-faktor Penyebab Anak Berperilaku Agresif di atas sangat kompleks dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Analisis
Ternyata lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sangat menentukan apakah seseorang berperilaku agresif atau tidak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Anderson & Bushman bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara mengalaminya secara langsung (direct experience) atau dengan mengobservasi tingkah laku manusia lainnya. Individu yang tidak mempunyai sifat agresif cenderung akan menampilkan perilaku agresif jika ia telah mempelajari prilaku agresif tersebut dari lingkungan di sekitarnya. Sebaliknya, individu yang mempunyai sifat agresif cenderung tidak akan menampilkan perilaku agresif jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung atau mengajarinya berperilaku agresif.
Sarwono, S.W. (2002). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustak.
STRES
A. Definisi Stres
Istilah stres ditemukan oleh Hans Selye (dalam Sehnert, 1981) yang mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stres dapat digunaan untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikoogis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut.
Add caption |
1. Stimulus
Keadaan atau situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stressor. Beberapa ahli yang menganut pendekatan ini mengkategorikan stresor menjadi tiga :
a. Peristiwa katastropik, misalnya angin tornado atau gempa bumi.
b. Peristiwa hidup yang penting, misalnya kehilangan pekerjaan atau orang yang dicintai.
c. Keadaan kronis, misalnya hidup dalam kondisi sesak atau bising.
2. Respon
Respon adalah reaksi sesorang terhadap stresor. Untuk itu dapat diketahui dari dua komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen psikologis dan komponen fisiologis.
a. Komponen psikologis, seperti perilaku, pola pikir dan emosi
b. Komponen fisiologis, seperti detak jantung, mulut yang mongering (sariawan), keringat dan sakit perut.
Kedua respon tersebut disebut dengan strain atau ketegangan.
3. Proses
Stres sebagai suatu proses terdiri dari stesor dan strain ditambah dengan satu dimensi penting yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu, yang disebut juga dengan istilah transaksi antar manusia dengan lingkungan, yang didalamnya termasuk perasaan yang dialami dan bagaimana orang lain merasakannya.
B. Jenis Stres.
Holahan (1981) menyebutkan jenis stres yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu systemic stress dan psychological stress.
1) Systemic Stress
Systemic stress didefinisikan oleh Selye (dalam Holahan, 1981) sebagai respon non spesifik dari tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang menghasilkan stres, misalnya racun kimia atau temperatur ekstrim, sebagai stressor.
Selye mengidentifikasikan tiga tahap dalam resspon sistemik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stress, yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS).
Tahap pertama adalah alarm reaction dari system syaraf otonom, termasuk didalamnya peningkatan sekresi adrenalin, detak jantung, tekanan darah dan otot menegang. Tahap ini bsa diartikan sebagai pertahanan tubuh.
Selanjutnya tahap ini diikuti oleh tahap resistance atau adaptasi, yang didalam nya termasuk berbagai macam respon coping secara fisik.
Tahap ketiga, exhaustion atau kelelahan, akan terjadi apabila stressor datang secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, jika usaha-usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat.
2) Psychological Stress
Psychological stress terjadi ketiksa individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stress sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya (Lazarus dalam Holahan, 1981). Sebuah situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan pendapatan dan seterusnya (dalam Heimstra & McFarling, 1978).
Hasil penelitian dari Levy dkk. (1984) ditemukan bahwa stress dapat timbul dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam, seperti ditempat kerja, di lingkungan fisik dan kondisi sosial. Stress yang timbul dari kondisi sosial bisa dari lingkungan rumah, sekolah atau tempat kerja.
C. Sumber Stres (Stressor).
Lazarus dan Cohen (dalam Evans, 1982) mengemukakan bahwa terdapat tiga kelompok sumber stress, yaitu :
1. Fenomena catalismic, yaitu hal-hal atau kejadian-kejadian yang tiba-tiba, khas, dan kejadian yang menyangkut banyak orang seperti bencana alam, perang, banjir, dan sebagainya.
2. Kejadian-kejadian yang memerlukan penyesuaian atau coping seperti pada fenomena catalismic meskipun berhubungan dengan orang yang lebih sedikit seperti respon seseorang terhadap penyakit atau kematian.
3. Daily hassles, yaitu masalah yang sering dijumpai di dalam kehidupan sehari-hari yang menyangkut ketidakpuasan kerja atau masalah-masalah lingkungan seperti kesesakan atau kebisingan karena polusi.
KETERKAITAN ANTARA STRES DENGAN LINGKUNGAN. (STRESS LINGKUNGAN)
Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan terhadap stres psikologis, Zimring (dalam Prawitasari, 1989) mengajukan dua pengandaian. Yang pertama, stress dihasilkan oleh proses dinamik ketika orang berusaha memperoleh kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dengan apa yang disajikan oleh lingkungan. Proses ini dinamik karena kebutuhan-kebutuhan individual sangat bervariasi sepanjang waktu dan berbagai macam untuk masing-masing individu. Cara penyesuaian atau pengatasan masing-masing individu terhadap lingkungannya juga berbagai macam.
Pengandaian kedua adalah bahwa variable transmisi harus diperhitungkan bila mengkaji stress psikologis yang disebabkan oleh lingkungan binaan. Misalnya perkantoran, status, anggapan tentang kontrol, pengaturan ruangan dan kualitas lain dapat menjadi variable transmisi yang berpengaruh pada pandangan individu terhadap situasi yang dapat dipakai untuk menentukan apakah situasi tersebut menimbulkan stress atau tidak.
Bangunan yang tidak memperhatikan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial akan merupakan sumber stress bagi penghuninya. Apabila perumahan tidak memperhatikan kenyamanan penghuni, misalnya pengaturan udara yang tidak memadai, maka penghuni tidak dapat beristirahat dan tidur dengan nyaman. Akibatnya penghuni sering kali lelah dan tidak dapat bekerja secara efektif dan ini akan mempengaruhi kesejahteraan fisik maupun mentalnya. Demikian pula apabila perumahan tidak memperhatikan kebutuhan rasa aman warga, maka hal ini akan berpengaruh negatif pula. Penghuni selalu waspada dan akan mengalami kelelahan fisik maupun mental. Hubungan antar manusia sangat penting, untuk itu perumahan juga sebaiknya memperhatikan kebutuhan tersebut.
Pembangunan perumahan yang tidak menyediakan tempat umum dimana para warga dapat berinteraksi satu sama lain akan membuat mereka sulit berhubungan satu sama lain. Atau perumahan yang tidak memperhatikan ruang pribadi masing-masing anggotanya akan dapat merupakan sumber stress bagi penghuninya (Zimring dalam Prawitasari, 1989).
Fontana (1989) menyebutkan bahwa stress lingkungan berasal dari sumber yang berbeda-beda seperti tetangga yang rebut, jalan menuju bangunan tempat kerja yang mengancam nilai atau kenikmatan salah satu milik/kekayaan, dan kecemasan financial atas ketidakmampuan membayar pengeluaran-pengeluaran rumah tangga.
Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada di dalamnya (Holahan, 1982). Stressor lingkungan, menurut stokols (dalam Brigham, 1991), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat.
PENGARUH STRES TERHADAP PERILAKU INDIVIDU DALAM LINGKUNGAN
Stres bisa mempengaruhi perilaku individu dalam lingkungan. Stokols (dalam Brigham, 1991) menyatakan bahwa apabila kepadatan tidak dapat diatasi, maka akan menyebabkan stress pada individu. Stress yang dialami individu dapat memberikan dampak yang berbeda tergantung pada kemampuan individu dalam menghadapi stress. Individu yang mengalami stress umumnya tidak mampu melakukan interaksi sosial dengan baik, sehingga dapat menurunkan perilaku untuk membantu orang lain (intensi prososial).
Penelitian-penelitian tentang hubungan kepadatan dan perilaku prososial di daerah perkotaan dan pedesaan telah banyak dilakukan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Milgram (1970) ditemukan bahwa orang yang tinggal di kota sedikit dalam memberikan bantuan dan informasi bagi orang yang tidak dikenal dari pada orang yang tinggal di daerah pedesaan. Begitu pula dalam mengizinkan untuk menggunakan telepon bagi orang lain yang memerlukan (Fisher, 1984).
Adapun proses tersebut dapat menunjukkan bahwa kepadatan mempunyai hubungan terhadap perilaku prososial seseorang. Hal ini dapat dijelakan oleh teori stimulus overload dari Milgram (dalam Wrightsman & Deaux, 1984). Dalam teori ini menjelaskan bahwa kondisi kota yang padat yang dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor seperti perbedaan individu, situasi dan kondisi sosial kota mengakibatkan individu mengalami stimulus overload (stimulus yang berlebihan), sehingga individu harus melakukan adaptasi dengan cara memilih stimulus-stimulus yang akan diterima, memberi sedikit perhatian terhadap stimulus yang masuk. Hal ini dilakukan dengan menarik diri atau mengurangi kontak dengan orang lain, yang akhirnya dapat mempengaruhi perilaku menolong pada individu.
Adapun contoh lain perilaku individu yang mengalami stres, yaitu :
- Individu menjadi lebih sensitif dan mudah marah
- Individu tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas dan lebih sering terlihat diam dan murung.
- Individu lebih suka menyendiri
- Individu menarik diri dari lingkungan
- Individu sering menunda ataupun menghindari pekerjaan/tugas
- Individu mengkonsumsi narkoba atau minuman keras.
Sumber
Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas Gunadarma.
Bukan perkara mudah untuk mengidentifikasi seseorang adalah psikopat atau bukan, karena butuh pemeriksaan mendalam oleh psikolog. Namun jika dari 10 pernyataan berikut banyak yang sesuai, maka ada kecenderungan untuk menjadi psikopat.
Psikopat adalah julukan untuk orang-orang yang mengidap psikopati, yakni gangguan kepribadian yang dicirikan dengan tidak adanya perasaan bersalah sedikitpun ketika melanggar sebuah norma maupun aturan. Psikopat juga identik dengan perilaku kejam dan tidak kenal takut.
Seorang psikopat memang tidak selalu melakukan kekerasan seperti yang digambarkan dalam film-film pembunuhan berantai. Kadang-kadang hingga taraf tertentu, perilaku sederhana seperti suka mencontek juga bisa dikategorikan sebagai gangguan perilaku psikopati.
Gangguan kepribadian ini kadang sulit diidentifikasi, karena kebanyakan psikopat tampak normal atau bahkan sangat ramah dalam kehidupan sehari-harinya. Namun di balik itu semua, seorang psikopat tidak punya empati atau kepekaan nurani terhadap lingkungan sekitarnya.
Salah satu contohnya adalah Seung-Hui Cho, mahasiswa Virginia Tech yang membantai 32 teman sekampusnya dengan pistol sebelum akhirnya mati bunuh diri pada tahun 2007. Beberapa orang terdekat mengakui, dalam kesehariannya Cho adalah seorang anak pendiam dan sangat pemalu.
Menurut penelitian, 1 dari 100 orang sebenarnya memiliki kecenderungan psikopati dengan tingkatan yang bervariasi. Dikutip dari TheSun, 10 pernyataan berikut dapat dipakai sekedar untuk memperkirakan seberapa besar kecenderungan seseorang untuk menjadi psikopat.
Test Sederhana
Tandai skor yang paling sesuai di setiap pernyataan.
3 : sangat setuju,
2 : setuju,
1 : tidak setuju
0 : sangat tidak setuju
Jumlahkan seluruh skor, lalu cocokkan dengan keterangan di bawah.
1. Saya jarang membuat perencanaan. Saya lebih suka segalanya serba spontan dan mendadak. (0 1 2 3)
2. Menyelingkuhi pasangan boleh-boleh saja asal tidak ketahuan. (0 1 2 3)
3. Jika mendadak ada hal yang lebih baik maka tidak ada salahnya untuk membatalkan kesepakatan terdahulu. (0 1 2 3)
4. Melihat hewan terluka atau kesakitan tidak membuat saya merasa terusik sedikitpun. (0 1 2 3)
5. Berkendara dengan kecepatan tinggi, naik roller coaster serta terjun payung sangat menarik bagi saya. (0 1 2 3)
6. Tidak masalah untuk melangkahi seseorang demi mendapatkan apa yang saya inginkan. (0 1 2 3)
7. Saya pintar membujuk dan memiliki kemampuan khusus agar orang mau melakukan kemauan saya. (0 1 2 3)
8. Saya cocok melakukan tugas berbahaya karena mampu membuat keputusan dengan sangat cepat. (0 1 2 3)
9. Bagi saya sangat mudah untuk bertahan dalam sebuah situasi, ketika orang lain mulai merasa sangat tertekan. (0 1 2 3)
10. Jika saya bisa melawan seseorang, berarti orang itu memang pantas menerimanya. (0 1 2 3)
Jumlah skor dari hasil test Anda
Kecenderungan psikopat berdasarkan total skor :
0-10: Rendah
11-15: Di bawah rata-rata
16-20: Rata-rata
21-25: Tinggi
26-30: Sangat tinggi
Sumber : apakabardunia.com
Psikopat adalah julukan untuk orang-orang yang mengidap psikopati, yakni gangguan kepribadian yang dicirikan dengan tidak adanya perasaan bersalah sedikitpun ketika melanggar sebuah norma maupun aturan. Psikopat juga identik dengan perilaku kejam dan tidak kenal takut.
Seorang psikopat memang tidak selalu melakukan kekerasan seperti yang digambarkan dalam film-film pembunuhan berantai. Kadang-kadang hingga taraf tertentu, perilaku sederhana seperti suka mencontek juga bisa dikategorikan sebagai gangguan perilaku psikopati.
Gangguan kepribadian ini kadang sulit diidentifikasi, karena kebanyakan psikopat tampak normal atau bahkan sangat ramah dalam kehidupan sehari-harinya. Namun di balik itu semua, seorang psikopat tidak punya empati atau kepekaan nurani terhadap lingkungan sekitarnya.
Salah satu contohnya adalah Seung-Hui Cho, mahasiswa Virginia Tech yang membantai 32 teman sekampusnya dengan pistol sebelum akhirnya mati bunuh diri pada tahun 2007. Beberapa orang terdekat mengakui, dalam kesehariannya Cho adalah seorang anak pendiam dan sangat pemalu.
Menurut penelitian, 1 dari 100 orang sebenarnya memiliki kecenderungan psikopati dengan tingkatan yang bervariasi. Dikutip dari TheSun, 10 pernyataan berikut dapat dipakai sekedar untuk memperkirakan seberapa besar kecenderungan seseorang untuk menjadi psikopat.
Test Sederhana
Tandai skor yang paling sesuai di setiap pernyataan.
3 : sangat setuju,
2 : setuju,
1 : tidak setuju
0 : sangat tidak setuju
Jumlahkan seluruh skor, lalu cocokkan dengan keterangan di bawah.
1. Saya jarang membuat perencanaan. Saya lebih suka segalanya serba spontan dan mendadak. (0 1 2 3)
2. Menyelingkuhi pasangan boleh-boleh saja asal tidak ketahuan. (0 1 2 3)
3. Jika mendadak ada hal yang lebih baik maka tidak ada salahnya untuk membatalkan kesepakatan terdahulu. (0 1 2 3)
4. Melihat hewan terluka atau kesakitan tidak membuat saya merasa terusik sedikitpun. (0 1 2 3)
5. Berkendara dengan kecepatan tinggi, naik roller coaster serta terjun payung sangat menarik bagi saya. (0 1 2 3)
6. Tidak masalah untuk melangkahi seseorang demi mendapatkan apa yang saya inginkan. (0 1 2 3)
7. Saya pintar membujuk dan memiliki kemampuan khusus agar orang mau melakukan kemauan saya. (0 1 2 3)
8. Saya cocok melakukan tugas berbahaya karena mampu membuat keputusan dengan sangat cepat. (0 1 2 3)
9. Bagi saya sangat mudah untuk bertahan dalam sebuah situasi, ketika orang lain mulai merasa sangat tertekan. (0 1 2 3)
10. Jika saya bisa melawan seseorang, berarti orang itu memang pantas menerimanya. (0 1 2 3)
Jumlah skor dari hasil test Anda
Kecenderungan psikopat berdasarkan total skor :
0-10: Rendah
11-15: Di bawah rata-rata
16-20: Rata-rata
21-25: Tinggi
26-30: Sangat tinggi
Sumber : apakabardunia.com
Add caption |
Ternyata tidak semua pembunuh adalah psikopat dan tidak semua psikopat pembunuh. Sebenarnya lebih banyak lagi psikopat yang berkeliaran dan hidup di tengah-tengah masyarakat, bukan sebagai pelaku kriminal. Selama ini mungkin tidak disadari psikopat ada di sekitar kita. Apakah dia tetangga, teman kerja atau bahkan pasangan serta anggota keluarga. Penyimpangan perilaku itu adalah sikap egois, tidak pernah mengakui kesalahan bahkan selalu mengulangi kesalahan, tidak memiliki empati, dan tidak punya hati nurani. Bila itu semua ada, kecurigaan adanya psikopat layak diberikan.
Penelitian menunjukkan bahwa psikopat berkaitan dengan genetik, gangguan fungsi otak, dan lingkungan. Mengingat dampak yang terjadi sangat besar dan berbahaya, maka harus diupayakan tindakan pencegahannya. Namun, pencegahan lebih sulit dilakukan karena faktor penyebab psikopat sendiri hingga saat ini masih belum dapat diungkapkan secara jelas. Karenanya, tindak pencegahan optimal yang dapat dilakukan sejauh ini adalah sebatas mengenali faktor risiko sejak dini.
PRIBADI DISSOSIAL
Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Maksudnya, psikopat adalah suatu gejala kelainan yang sejak dulu dianggap berbahaya dan mengganggu masyarakat. Namun, istilah psikopat yang sudah sangat dikenal masyarakat justru tidak ditemukan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) IV. Artinya, psikopat tidak tercantum dalam daftar penyakit, gangguan atau kelainan jiwa di lingkungan ahli kedokteran jiwa Amerika Serikat. Psikopat dalam kedokteran jiwa masuk dalam klasifikasi gangguan kepribadian dissosial. Selain psikopatik, ada gangguan antisosial, asosial, dan amoral yang masuk dalam klasifikasi gangguan kepribadian dissosial tadi.
Psikopat tak sama dengan skizofrenia, karena seorang psikopat sadar penuh atas perbuatannya. Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati, pengidapnya sering kali disebut "orang gila tanpa gangguan mental". Menurut penelitian, sekitar 1% dari total populasi dunia mengidap psikopati. Pengidap ini sulit dideteksi karena 80%-nya lebih banyak yang berkeliaran daripada yang mendekam di penjara atau di rumah sakit jiwa. Pengidapnya juga sukar disembuhkan. Dalam kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai pembunuh, pemerkosa, pelaku kekerasan dalam rumah tangga, pelaku bunuh diri, dan koruptor. Namun, ini hanyalah 15-20% dari total jumlah psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang berpenampilan sempurna, pandai bertutur kata, memesona, punya daya tarik luar biasa dan menyenangkan.
TEORI PENYEBAB
Berbagai teori dikemukakan oleh para peneliti untuk menjelaskan kemungkinan penyebab kepribadian psikopat. Di antaranya teori kelainan struktural otak seperti penurunan intensitas bagian otak di daerah prefrontal grey matter dan penurunan volume otak di bagian posterior hippocampal dan peningkatan intensitas otak bagian callosal white matter. Teori lain adalah gangguan metabolisme serotonin, gangguan fungsi otak dan genetik yang diduga ikut menciptakan karakter monster seorang psikopat.
Mungkin saja tidak ditemukan kerusakan otak pada seorang yang menunjukkan gejala psikopatik, melainkan terdapat anomali dalam caranya memproses informasi. Hal ini pernah dibuktikan dalam penelitian menggunakan MRI melalui pengenalan gambar-gambar kasus bunuh diri yang tidak menyeramkan. Pada orang nonpsikopat terlihat banyak sekali aktivasi di amigdala (suatu area di otak), sedangkan pada psikopat tidak tampak perbedaan sama sekali. Peningkatan aktivitas otak psikopat terjadi di area lain pada otak yaitu area ekstra-limbik. Tampaknya psikopat menganalisis materi emosional di area otak tersebut.
Tidak mudah mendiagnosis psikopat. Namun, ada tiga ciri utama yang biasanya melekat pada seorang psikopat, yakni egosentris, tidak punya empati, dan tidak pernah menyesal. Lebih jauh, ada sepuluh karakter spesifik psikopat. Di antaranya, tidak memiliki empati, emosi dangkal, manipulatif, pembohong, egosentris, pintar bicara, toleransi yang rendah pada rasa frustrasi, membangun relasi yang singkat dan episodik, gaya hidup parasitik, dan melanggar norma sosial yang persisten.
DETEKSI DINI
Selain ada anomali di otak, faktor genetik dan lingkungan juga berperan besar melahirkan karakter psikopat. Ciri psikopat sebenarnya bisa dideteksi sejak kanak-kanak melalui berbagai perilaku yang tidak biasa. Perilaku antisosial pada anak-anak ternyata merupakan warisan genetik.
Bila faktor genetik berpengaruh, maka gangguan perilaku psikopat dapat diminimalkan sejak usia anak. Langkah awal yang mungkin dilakukan adalah melakukan deteksi dini faktor risiko dan gangguan perilaku pada anak. Karena faktor genetik adalah faktor yang diturunkan, maka faktor orangtua juga harus menjadi perhatian. Artinya, jika salah satu orangtua menunjukkan gejala psikopat, maka anak akan berpotensi mempunyai risiko yang mengalami hal yang sama. Beberapa gejala psikopat itu adalah:
1. Impulsif dan sulit mengendalikan diri. Bagi psikopat tidak ada waktu untuk menimbang baik-buruknya tindakan yang akan mereka lakukan. Mereka juga tidak peduli pada apa yang telah diperbuatnya atau memikirkan tentang masa depan. Pengidap juga mudah terpicu amarahnya akan hal-hal kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan, kritik, dan mudah menyerang orang hanya karena hal sepele.
2. Sering berbohong, fasih dan dangkal. Psikopat sering kali pandai melucu dan pintar bicara, secara khas berusaha tampil dengan pengetahuan di bidang sosiologi, psikiatri, kedokteran, psikologi, filsafat, puisi, sastra, dan lain-lain. Sering kali pandai mengarang cerita yang membuatnya positif, dan bila ketahuan berbohong mereka tak peduli dan akan menutupinya dengan mengarang kebohongan lainnya dan mengolahnya seakan-akan itu fakta.
3. Manipulatif dan curang. Psikopat juga sering menunjukkan emosi dramatis walaupun sebenarnya mereka tidak sungguh-sungguh. Mereka juga tidak memiliki respons fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa takut seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang, gemetar. Karena itu psikopat sering kali disebut dengan istilah "dingin".
4. Egosentris dan menganggap dirinya hebat.
5. Tidak punya rasa sesal, rasa berdosa, dan rasa bersalah. Meski kadang psikopat mengakui perbuatannya, ia sangat meremehkan atau menyangkal akibat tindakannya dan tidak memiliki alasan untuk peduli.
6. Senang melakukan pelanggaran dan bermasalah perilaku di masa kecil.
7. Kurang empati. Bagi psikopat, memotong kepala ayam dan memotong kepala orang, tidak ada bedanya.
8. Psikopat juga teguh dalam bertindak agresif, menantang nyali dan perkelahian, jam tidur larut dan sering keluar rumah.
9. Tidak mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal demi kesenangan belaka.
10. Tidak bertanggung jawab atas kewajiban.
11. Tidak bertanggung jawab atas tindakan sendiri.
12. Hidup sebagai parasit karena memanfaatkan orang lain untuk kesenangan dan kepuasan dirinya.
13. Sikap antisosial di usia dewasa.
14. Persuasif dan memesona di permukaan.
15. Butuh stimulasi atau gampang bosan. .
16. Emosi dangkal.
17. Buruknya pengendalian perilaku.
18. Longgarnya perilaku seksual.
19. Masalah perilaku dini (sebelum usia 13 tahun).
20. Tidak punya tujuan jangka panjang yang realistis.
21. Pernikahan jangka pendek yang berulang.
22. Terlibat kenakalan di masa remaja.
23. Melanggar norma.
24. Terlibat keragaman kriminal.
Memang, diagnosis gejala psikopat pada anak sampai saat ini masih sangat sulit ditegakkan karena belum ada alat diagnosis yang dapat digunakan. Namun, pengamatan terhadap anak-anak dalam rentang usia 6–13 tahun bisa mulai dilakukan, sebab beberapa penyimpangan perilaku pada mereka harus diketahui dan dikenali orangtua sejak dini. Beberapa faktor risiko yang harus dicermati, adalah sebagai berikut:
1. Sering berbohong. Jika ketahuan berbohong, ia tak peduli dan akan menutupinya dengan mengarang kebohongan lainnya dan mengolahnya seakan-akan itu fakta.
2. Impulsif dan sulit mengendalikan diri; emosi tinggi, tantrum, dan agresif. Mudah terpicu amarahnya oleh hal-hal kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan, kritik, dan mudah menyerang orang hanya karena hal sepele.
3. Tidak memiliki respons fisiologis yang normal seperti rasa takut yang ditandai tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang, gemetar bila melakukan kesalahan yang besar dan fatal.
4. Emosi dangkal; saat sedih dan gembira ekspresinya tidak terlalu kelihatan.
5. Tidak punya rasa sesal dan rasa bersalah, sering menyangkal akibat tindakannya dan tidak memiliki alasan untuk peduli.
6. Senang melakukan pelanggaran dan peraturan keluarga atau sekolah.
7. Kurang empati terhadap perasaan keluarga dan teman sepermainan.
8. Agresif, menantang nyali dan perkelahian, jam tidur larut dan sering keluar rumah.
PENCEGAHAN DINI
Mengingat faktor penyebab psikopat masih belum terungkap jelas, maka penanganan yang dilakukan memang tidak bisa optimal. Pengobatan dan rehabilitasi psikopat saat ini baru dalam tahap kompleksitas pemahaman gejala. Terapi yang paling mungkin adalah tanpa obat seperti konseling. Namun melihat kompleksitas masalahnya, terapi psikopat bisa dikatakan sulit bahkan tidak mungkin. Seorang psikopat tidak merasa ada yang salah dengan dirinya sehingga memintanya datang teratur untuk terapi adalah hal yang mustahil. Yang bisa dilakukan manusia adalah menghindari orang-orang psikopat, memberikan terapi pada korbannya, mencegah timbul korban lebih banyak dan mencegah psikopat agar tidak menjadi pelaku kriminal.
Beberapa penelitian menyebutkan faktor lingkungan juga sangat berpengaruh. Lingkungan tersebut bisa berupa fisik, biologis, dan sosial. Faktor lingkungan fisik dan sosial yang berisiko mengembangkan seorang psikopat menjadi kriminal adalah tekanan ekonomi yang buruk, perlakuan kasar dan keras sejak usia anak, penelantaran anak, perceraian orangtua, kesibukan orangtua, faktor pemberian nutrisi tertentu, dan kehidupan keluarga yang tidak mematuhi etika hukum, agama dan sosial. Lingkungan yang berisiko lainnya adalah hidup di tengah masyarakat yang dekat dengan perbuatan kriminal seperti pembunuhan, penyiksaan, kekerasan, dan lain sebagainya.
Sedangkan lingkungan biologis yang berpengaruh terhadap tindak kriminal yang saat ini banyak diteliti adalah pola makan. Penelitian yang dilakukan Peter C., dan kawan-kawan pada 1997 mendapatkan hasil yang cukup mengejutkan. Ternyata terdapat kaitan antara diet, alergi makanan, intoleransi makanan dan perilaku kriminal di usia muda. Hal ini akan menjadi informasi dan fakta ilmiah yang menarik dan sangat penting. Meskipun demikian masih belum dapat dijelaskan mengapa beberapa faktor tersebut berkaitan. Yang jelas, terdapat beberapa faktor risiko untuk terjadi tindak kekerasan dan kriminal yang berawal dari agresivitas, emosi, impulsivitas, hiperaktivitas, gangguan tidur, dan sebagainya. Ternyata banyak faktor risiko tersebut juga terjadi pada penderita alergi dan intoleransi makanan. Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak.
Akibat gangguan fungsi otak itulah maka timbul gangguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, gangguan tidur, impulsivitas, hingga memperberat gejala autisma dan ADHD (Attention Deficit and Hyperactivity Disorder). Penelitan lanjutan dari riset ini sangat dibutuhkan dan akan menjadi sangat penting, khususnya bagi penderita psikopat yang berisiko menjadi pelaku kriminal.
Seandainya pada anak terdapat faktor genetik dan terdapat beberapa perilaku tersebut, orangtua harus waspada. Karena itu, yang paling penting adalah lingkungan keluarga yang sehat dan harmonis. Sebaliknya, keluarga yang dibangun penuh kekerasan, anak yang ditolak orangtuanya dan diperlakukan kejam adalah lingkungan yang memicu terbentuknya seorang "monster manusia" atau psikopat lainnya. Meskipun hanya sebagian kecil saja kelompok psikopat yang berurusan dengan kriminalitas, tetapi tetap saja mereka merupakan racun dan sampah masyarakat.
Jika deteksi dini gangguan perilaku dilakukan dengan baik, ditunjang kehidupan keluarga yang baik dan harmonis maka idealnya seorang psikopat tidak akan berubah menjadi pelaku kriminal. Hal ini sangat penting diupayakan agar tak sampai mengakibatkan kehidupan yang kelam bagi masa depan anak. Ingat, faktor genetik, gangguan fungsi otak, dan lingkungan dapat saling memengaruhi.